JAN 17, 2019@12:05 WIB | 957 Views
Hadirnya teknologi 4G membuat ekosistem DNA (device, network, application) semakin berkembang di Indonesia. Namun ditengah meningkatnya pengguna smartphone yang mendorong lonjakan konsumsi data, industri selular sesungguhnya dapat dibilang cukup.
Industri telekomunikasi Indonesia pun diproyeksi tumbuh negatif 6,4% pada 2018.
Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat. Pasalnya, pada 2016, industri selular masih tumbuh sebesar 10%. Namun, rendahnya tarif data, tidak bisa mengimbangi turunnya layanan suara dan SMS. Layanan basic itu, semakin kurang diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT. Alhasil, pertumbuhan menciut menjadi 9% di akhir 2017.
Tumbuhnya konsumsi data masyarakat yang mengakses layanan OTT ini pun dianggap sebagai beban industri karena harga paket internet yang terlalu murah.
Rendahnya tarif data yang dibarengi dengan dampak dari kebijakan registrasi pra bayar, dan kondisi ekonomi makro yang tak kondusif, seperti kurs rupiah yang masih tertekan terhadap dollar pun membuat operator menutup 2018 dengan kinerja yang kurang menggembirakan.
Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mencatat, rata-rata penggunaan data pada 2014 hanya 0,3 giga byte (GB) per bulan. Angka itu tumbuh menjadi 3,5 GB per bulan pada 2018. Tahun ini, estimasi konsumsi data di Indonesia mencapai 4,8 GB dan meningkat terus menjadi 6 GB pada 2021.
"Harga layanan data Indonesia yang termurah di dunia. Hanya sedikit di atas India," ujar Ketua ATSI Ririek Adriansyah dalam acara Selular Business Forum di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (17/1).
Padahal untuk memenuhi permintaan layanan data yang naik 3,5 kali lipat dalam lima tahun ke depan, dikatakan Ririk perlu tambahan modal.
Dalam kesempatan yang sama, Kristiono, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) juga menyebutkan, bahwa harga layanan data di Indonesia justru menurun dari Rp 1 per kilobyte (kb) pada 2010 menjadi Rp 0,015 per kb pada 2018.
"Penurunan harga mencapai 40% per Mega Byte (MB) inilah yang jadi masalahnya," jelas Kristiono.
Sementara, menurut Kristiono, murahnya tarif layanan data ini justru menguntungkan perusahaan digital yang penggunaan produknya lebih banyak menggunakan kuota data.
"E-commerce tumbuh di tengah infrastrukturnya, yakni telekomunikasi yang menurun. Jadi seperti benalu saja," katanya.