MAY 09, 2020@15:00 WIB | 1,434 Views
Pandemi COVID-19 memaksa jutaan orang untuk bekerja dari rumah, baik di Indonesia maupun penjuru dunia lainnya. Menurut Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta, per 1 April 2020, sebanyak 1.043.773 pekerja formal telah didorong untuk bekerja dari rumah. Angka tersebut makin melonjak seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak 10 April 2020. Dengan lebih dari tiga juta pekerja formal, atau hampir 70% dari total keseluruhan tenaga kerja di Jakarta, fenomena peningkatan kerja jarak jauh di Ibukota baru memasuki tahap awal perkembangannya.
Jumlah orang yang mempraktikkan kerja jarak jauh bisa dibilang memang meningkat akibat terjadinya pandemi, namun metode kerja seperti ini sebetulnya bukanlah fenomena baru. Dengan perkembangan teknologi internet yang semakin pesat, bekerja dari rumah, baik paruh maupun penuh waktu, menjadi sesuatu yang makin lazim di kalangan pekerja formal.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Owl Labs pada tahun 2019, Amerika Serikat yang 80% populasinya merupakan pekerja formal, sebanyak 62% di antaranya yang berusia antara 22-65 melakukan pekerjaan secara jarak jauh dengan tingkatan yang berbeda-beda; angka tersebut diprediksi akan terus bertambah. Masih dalam survei yang sama, untuk 5 tahun ke depan, 42% pekerja jarak jauh juga diketahui berencana untuk lebih sering melakukan pekerjaannya di luar kantor. Sedangkan, 51% pekerja kantoran berkeinginan untuk melakukan pekerjaanya dari jarak jauh.
Dalam beberapa tahun terakhir, bekerja jarak jauh telah terakomodir dengan makin menjamurnya co-working space. Konsumen merasakan manfaat dari co-working space tersebut melalui komunitas serta fasilitas yang disediakan oleh operator co-working. Namun, dengan segala peristiwa yang terjadi baru-baru ini, para pekerja jarak jauh bisa saja terbuka matanya untuk mencari pilihan tempat tinggal lain yang juga dapat menghadirkan fasilitas serta nuansa komunitas.
Keyakinan tersebut didorong oleh hasil survei Buffer pada tahun 2019 yang menyatakan kalau 84% pekerja jarak jauh nyatanya masih memilih untuk melakukannya di rumah mereka. Dari situ, ‘saudara jauh’ co-working, yaitu co-living, bisa menjadi suatu tren baru di masa yang akan datang dengan menyediakan ‘kombinasi’ yang sesuai bagi populasi pekerja jarak jauh yang sedang bertumbuh pesat.
Baru-baru ini, kemunculan co-living telah membantu banyak kaum millennial memecahkan permasalahan hunian tak fleksibel ataupun berharga sewa mahal. Apalagi, co-living juga menyediakan berbagai event serta fasilitas umum yang dapat membantu terbangunnya jalinan hubungan antar penghuninya.
Di kala banyak pekerja didorong untuk bekerja di rumah, mereka yang tinggal di lingkungan co-living justru tidak perlu mengorbankan kenyamanan semasa bekerja karena tetap dimungkinkan untuk menjaga komunikasi serta kondusivitas kerja di dalam ruang komunal.
Sebagai pekerja digital media lepas di Jakarta, Fati (24) memiliki kebebasan untuk memilih tempat kerjanya. Namun, Ia memutuskan untuk menyewa ruang co-working di Mega Kuningan. Pilihan tersebut didasari oleh adanya kemungkinan untuk melakukan networking, hingga tersedianya acara mingguan hingga fasilitas macam WiFi berkecepatan tinggi.
Sebelum Pemerintah Jakarta mendorong warganya untuk bekerja dari rumah pada awal Maret, Fati biasa menghabiskan 15 menit waktu perjalanan ke tempat kerja dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator co-living bernama Flokq. Selama pandemi, Ia melakukan seluruh pekerjaan dari ruang co-livingnya, dan sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang juga biasa Ia rasakan di tempat kerjanya.
“Beberapa waktu terakhir, aku meluangkan lebih banyak waktu di apartemenku. Flokq menyediakan internet yang cepat, dan aku juga merasa mudah melakukan pekerjaan di ruang komunal bersama teman-teman flat. Ini terasa nyaman, dan sepertinya aku akan melanjutkan gaya kerja seperti ini bahkan setelah pandemi selesai,” jelas Fati.
Opsi Kerja Jarak Jauh bagi Para Pencari Tenaga Kerja
Potensi perubahan tren dari co-working menjadi co-living turut disadari oleh Garry (32), entrepreneur startup di Jakarta. Meskipun tinggal di ruang co-living yang disediakan oleh Flokq di kawasan Senopati, Ia tetap mampu bekerja sama dengan timnya yang berhunian di ruang co-working di kawasan Mega Kuningan. Selama pandemi, Garry tetap menjaga koordinasi dengan timnya, selagi Ia sendiri dapat membangun network dengan penghuni co-living lain di tempat yang Ia huni.
“Pembatasan sosial umumnya akan mengurangi terjadinya pertemuan ataupun acara-acara lain. Tapi bagi saya resiko tersebut tidak begitu berpengaruh, karena saya tetap dapat bertemu dan membangun network dengan orang-orang yang berada di lingkungan co-living,” jelas Garry.
Sejalan dengan banyaknya bisnis yang terimbas akibat pandemi ini, Garry pun berupaya memotong biaya operasional dengan mendorong timnya untuk melakukan kerja jarak jauh. Dari situ, Ia bahkan berencana mengakhiri sewa ruang co-working-nya, dan sebagai ganti, bekerja jarak jauh sepenuhnya dari ruang co-living yang Ia huni sekarang.
Lebih jauh, Garry juga menjelaskan, ini merupakan masa-masa yang sulit, bukan hanya bagi usaha miliknya, namun juga orang lain. Rekan-rekan dia yang sesama pengusaha startup juga mempertimbangkan untuk mengakhiri masa sewa ruang co-working mereka.
"Memang, ada kelebihan yang tidak dapat dipungkiri dari ruang kerja konvensional. Namun, secara pribadi saya merasa hal itu bukan masalah karena saya tinggal di ruang co-living, dan saya juga tengah coba menerapkan gaya kerja jarak jauh untuk tim saya." pungkas Garry.
Investor Raup Keuntungan dari Model Co-living
Cerahnya bisnis co-living di masa depan juga sudah diprediksi oleh Akash Mulani, Flokq Advisior and Director Real Estate Investment Firm, di Australia. Ia mengaku malah sedang menggodok konsep bisnis baru setelah melihat dampak pandemi saat ini.
“Kami sangat yakin akan masa depan co-living terkait kondisi masyarakat dan ekonoi saat ini yang terdampak COVID-19. Kegiatan isolasi mandiri yang saat ini banyak dilakukan masyarakat berarti akan mengurangi interaksi manusia dan dapat menurunkan kualitas kesehatan mental." kata Akash.
"Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Dengan kebijakan WFH yang kian menjadi umum, masyarakat membutuhkan ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena memiliki persamaan minat dan latarbelakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan per bulannya,” jelas Akash.
“Dibandingkan dengan kost-kostan, co-living dapat menjamin semua kualitas itu. Co-living dan Co-working dalam gedung yang sama, adalah sebuah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan,” pungkas Akash .
Sebelum pandemi COVID-19, model ruang co-working cukup banyak dilirik oleh para pemilik properti dan investor. Namun, baru-baru ini, para pelaku properti serta investor-investor tersebut juga mulai memetik profit dari model yang menghasilkan keuntungan lebih besar per meter persegi-nya dibandingkan model sewa tradisional ini.
Dengan bekerja bersama operator seperti Flokq, pemilik properti juga terlepas dari tingginya pengeluaran ataupun resiko turnover. Seluruh hal tersebut akan sepenuhnya ditangani oleh operator. Seiring makin banyaknya pekerja jarak jauh yang mengidamkan perpaduan antara kenyamanan hidup serta kemampuan untuk melakukan networking layaknya ruang kerja tradisional, tentu potensi keuntungan yang mungkin diraih oleh pemilik properti dan investor juga akan semakin melangit.
Nicholas Pudjiadi, VP Jayakarta Group, juga melihat perubahan ini. “Pandemi Covid-19 telah mengubah kebiasan dan gaya hidup masyarakat. Pandemi juga telah membuat orang terbiasa dan sadar akan norma-norma baru ini, salah satunya adalah bekerja dari rumah. Bagi beberapa orang, bekerja dari rumah dirasakan sangat efisien, lebih produktif dan tentunya bagi pelaku wirausaha, sangat dapat menekan biaya. Oleh karena itu, setelah pandemi ini berakhir, tentunya akan ada kebutuhan akan properti yang melayani dan menyediakan working space sekaligus tempat tinggal, khususnya yang diperuntukkan bagi segmen pasar milenial,” jelas Nicholas, yang juga merupakan investor dan partner dari pengelola hunian co-living, Flokq.
Sahil, salah satu investor real estate yang propertinya dikelola oleh Flokq juga memiliki pendapat senada dengan kondisi ini. “Setelah pandemi corona, saya yakin akan banyak perusahaan yang mengeluarkan kebijakan bekerja jarak jauh atau dari rumah bagi karyawannya. Hal ini menciptakan sebuah kebutuhan logis akan living space di mana orang-orang dapat bekerja dan networking di tempat yang layak serta nyaman. Coliving dapat menjawab kebutuhan itu. Maka, menurut saya permintaannya akan terus meningkat lebih tinggi di masa pasca pandemi nanti,” ujarnya.[Ahs/timBX]