JAN 29, 2024@15:52 WIB | 403 Views
Sekarang ini banyak sekali pabrikan mobil berlomba hadirkan mobil listrik. Mulai dari pabrikan Eropa, Jepang sampai Tiongkok berlomba hadirkan mobil listrik dengan jarak tempuh terjauh dalam sekali pengisian. Lantas, dengan lompatan teknologi yang lebih jauh terutama dari segi baterai. Otomatis, adakah perang teknologi pada baterai mobil listrik ini?
Asal kita tahu, baterai mobil listrik pertama kali hadir gunakan bahan material Nickel Cobalt atau NMC. Bahan material ini memang sering jadi perbincangan di awal tahun 2024 ini. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen Nickel terbesar dan memiliki smelter pengolahan pun tergiur dengan besarnya permintaan akan material Nickel tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu dan pengembangan teknologi begitu cepatnya. Baterai mobil listrik pun berevolusi. Seperti BYD yang sukses kembangkan baterai LFP (Lithium Ferrous Phospate) dengan bentuk yang seperti pisau tajam. Namun, mana yang lebih cocok untuk pasar Indonesia? Apakah LFP atau NMC?
Baterai Nickel Lebih Mudah Recycle Tapi Kekurangannya Ada
Kalau saja bicara baterai Nickel itu sendiri punya kekurangan yang memungkinan pengguna mobil EV di Indonesia sendiri akan alami kerugian besar. Namun, di balik kelemahannya tersimpan sebuah keunggulan yang sampai sekarang bikin konsumen Indonesia senang sekali.
Baterai mobil listrik jenis NMC atau Nickel Manganese Cobalt merupakan baterai mobil listrik paling umum kita jumpai. Memang, jenis baterai ini kebanyakan hadir di mobil listrik seperti Tesla Model S, X dan 3. Sepertinya model baterai ini juga sempat ada sebagai Nickel Metal Hydrate.
Tapi namanya, Nickel membuat Indonesia bisa tergiur bangun Smelter di Morowali untuk memenuhi permintaan mobil listrik itu sendiri. Namun, masalah terbesarnya adalah kalau baterai ini bermasalah terutama temperature baterai melebihi batas maksimal, yang terjadi korsleting berujung kebakaran yang sulit sekali padamkan dengan air biasa atau Foam khusus. Melainkan ada bahan khusus untuk memadamkan api dari baterai listrik tersebut.
Bagaimana LFP?
Sedangkan Litihium Ferrous Phospate sendiri lebih unggul daripada Nickel. Selain umur yang panjang juga biaya produksi yang murah membuat produksi mobil listrik bakalan makin terjangkau sekali. Bahkan jenis baterai inilah jadi pilihan produsen saat bentuk baterai seperti NMC sendiri tidak bisa berikan rasa aman bagi pemilik mobil listrik.
Sayangnya baterai ini sangat sensitif dengan tingkat panas baterai bahkan harus performa chargingnya sedikit jauh berbeda dari NMC itu sendiri. Belum lagi masalah density atau penyimpanan baterai yang jauh berbeda. Namun, pabrikan punya segudang teknologi yang bisa menutupi kelemahan dari LFP ini. Seperti Tesla yang berpindah ke LFP sampai pabrikan mobil listrik di Indonesia pun bisa memasukkan mobil listrik mereka dengan harga yang jauh lebih terjangkau sekarang ini.
Sebuah Pilihan Sulit bagi konsumen
Tidak terlalu sulit buat konsumen untuk mengetahui baterai mobil listrik yang mereka gunakan. Karena sejatinya kedua baterai mobil listrik ini sama saja. Tidak ada yang berbeda sama sekali, meskipun penanganan baterai mereka berdua sedikit berbeda termasuk pengisian daya yang pastinya tidak seragam antar mobil listrik satu sama lainnya.
Tetapi, kembali lagi itu semua sesuaikan dengan kebutuhan konsumen di Indonesia. Ada yang butuh range kurang dari 300 kilometer karena perjalanan dalam kota atau suka jalan ke luar kota butuhnya lebih dari 300 KM saja.