FEB 27, 2020@16:30 WIB | 1,197 Views
BMW E30 318i menjadi awal mula perjalanan menuju kesuksesan sedan eksekutif kompak BMW di Indonesia. Kalau melihat skenario masa kini, 320i G20 boleh dibilang model ekuivalen 318i dari era 80an. Setelah eksis lebih dari 30 tahun, sudah sejauh apa seri ini mengembara?
Pertanyaan itu langsung terlontar kala melihat 320i berdiri di atas aspal untuk kali pertama. Pasalnya, secara desain keseluruhan jelas beda, apalagi dari segi kelengkapan fitur. Tapi saya ingat kalau ini Seri-3. Sebuah angka keramat BMW dengan warisan bumbu nenek moyang. Diramu memakai resep pencetus tren sedan eksekutif kompak dan sporty. Akan serba salah bila ternyata menyeleweng jauh dari tradisi.
Status dan Kasta
Merek tiga huruf ini selalu identik dengan mereka yang sudah memiliki kelebihan di segi finansial. Lebih dari sekadar alat transportasi, cenderung mengarah ke barang aktualisasi diri. Kita semua tahu jenama ini bukan penghasil barang murah apalagi murahan, sedari awal pun Seri-3 diposisikan demikian.
Semua tergambar lewat banderol harga. Referensi dari tahun 1989 saya gunakan untuk sekilas melihat bagaimana keadaan di masa awal Seri-3. Sebuah 318i facelift dengan bekal mesin anyar (pada saat itu) M40, diberi label Rp 71,8 juta. Sebagai perbandingan, Honda Accord termahal bertransmisi otomatis dilego Rp 67,3 juta. Toyota Camry belum lahir namun titik di atas Corolla ditempati Corona. Ia dijual Rp 66,55 juta untuk menyuguhkan mesin 2.000 cc, transmisi otomatis, dan dilabur cat metalik.
Cukup unik lantaran secara dimensi, Accord dan Corona notabene lebih besar. Untuk sebuah sedan kompak yang nyaris sekecil Corolla ternyata berdiri bangga di atas sedan medium Jepang. Bisa. Begitulah BMW memosisikan diri sebagai brand premium. Tapi tentu E30 tidak dibiarkan moderat. Nanti saya bahas.
Jika melihat keadaan saat ini,320i G20 jelas merupakan versi ekuivalen-nya. Ia mejeng di pintu masuk Seri-3. Kendati begitu, masih ada 318i di luaran sana hanya saja tidak – atau mungkin belum – dipasarkan. Persis seperti cerita E30, 318i bukanlah varian terendah secara global, masih ada 316i. Wajar bila entry level G20 disebut versi kekinian E30.
Baca juga: Modifikasi Mobil BMW 320i F30
Alasan lain diperkuat lewat kedudukan dalam pasar. BMW Indonesia melabeli The All-New 320i Sport Rp 976 juta (OTR Jakarta). Sebatas bahan pembanding, Honda Accord dijajakan Honda Prospect Motor Rp 729,6 juta. Sedan premium Jepang lain yang dapat dijadikan acuan ialah Camry, diniagakan Toyota mulai dari Rp 634,85 juta.
Ya, dari segi harga dan status publik, Seri-3 kasta bawah ini tidak terlihat berevolusi sendirian. Tidak membuat 3er jadi setara 7er di masa lalu kala membandingkan mobil lain. Dinamika pasar membuat mayoritas nameplate ‘naik kelas’ agar kemudian pabrikan menyelipkan model anyar di bawahnya.
Cassette Player sampai iDrive
Menyandang status sedan kompak eksekutif berarti perlu suatu nilai ekstra. Demi mendukung hal ini, BMW menunjukkan kepiawaian permainan teknologi canggih. Contoh di pendar cahaya depan. E30 Facelift mengadopsi headlamp dengan sebutan elipsoidal. Cahaya tidak disebar oleh bagian reflektif rumah lampu saja. Ada peran lensa membantu proyeksi ke luar. Dulu ini barang mutakhir dan masih jarang dianut. Sekarang lazim kita temukan sebagai lampu proyektor.
Inovasi produk di sektor pencahayaan pun dilakukan BMW pada 320i Sport. Bukan LED, bukan proyektor, tapi menggunakan laser. Sinar diproyeksikan ke depan dengan sokongan lensa berikut kontrol elektronik. Akibat peranti ini, pencahayaan di malam hari sangat terang tanpa mengganggu pandangan pengemudi lain di lawan arah. Lampu juga dapat berdansa ke kiri dan kanan mengikuti keinginan pengemudi kala berbelok.
Tak hanya di luar, masuk kabin G20 mengingatkan kecanggihan E30 di zamannya. Semua serba digital, mulai dari infotainment iDrive 7.0 sampai instrument cluster. Sumber sarana hiburan, memantau kondisi real-time kesehatan dan performa mobil, sampai setting mode berkendara terpusat di layar tengah. Terlebih lagi dapat menyetel asistensi otonom saat parkir atau mundur. Sebagai peningkat kenyamanan kabin, disematkan Automatic Climate Control tiga zona.
Hal ini jelas menggambarkan leluhur entry level BMW. Dahulu mereka punya cara tersendiri untuk memamerkan kemajuan. Contoh terdapat sistem terkomputerisasi berfungsi mengingatkan servis dan inspeksi. Selain itu, sarana hiburan juga tidak main-main. Blaupunkt Cassette Player beserta antenna otomatis berupaya menciptakan kesan mewah.
Kompleksitas memainkan peran penting imaji mutakhir masa lalu. Seperti pengaturan AC, alat kontrol ditempatkan terpisah dengan tuas masing-masing. Dua kenop putar pengatur blower dan temperatur, tiga slider arah angin, serta dua tombol penyejuk Freon dan sirkulasi udara menyibukkan konsol tengah. Bak mengoperasikan pesawat terbang.
Perkembangan Pemacu Daya
Dari komposisi jeroan mesin mungkin 318i E30 tidak terlihat spesial. Dalam kepala silinder hanya terdapat satu camshaft alias SOHC. Jumlah silinder hanya empat berkubikasi 1.800 cc. Meski begitu, mereka memainkan sisi kecanggihan komputer. Memang di masa awal sistem injeksi masih mengandalkan perangkat analog Bosch L-Jetronic. Tapi ketika facelift, ECU Motronic berikut sistem injeksi dari Bosch memimpin orkestra pembakaran.
Ekstraksi tenaga mencapai angka 105 PS di masa awal bermesin M10. Setelah pemacu daya direvisi total jadi M40, output mencapai 116 PS. Sebelum memasuki era 90an, angka ini terbilang unggul di saat masih banyak mesin karburator menyemburkan daya kurang dari 100 PS.
Guna mengikuti perkembangan zaman sekaligus menguatkan nuansa sporty, 320i dibekali jantung bertenaga. Jumlah ruang bakar sama empat silinder tapi terdapat rumah keong pemaksa udara. Dari kubikasi mesin 2.000 cc inilah, turbo membantu ekstraksi daya mencapai 184 PS berikut torsi berlimpah 300 Nm. Tentu untuk mobil seharga Rp 900 jutaan terlihat biasa saja, walau tidak dapat disebut underpower.
Namun, sektor jantung pacu bukan nilai utama titik masuk Seri-3. Dapat dilihat sejak awal eksis di Tanah Air ia diposisikan membawa keseimbangan antara performa, kemewahan, serta kecanggihan teknologi dalam balutan kemasan ekonomis.
Membawa Ciri Khas 3-Series
Ini seri keramat bagi BMW, soal evolusi desain tidak ada suatu hal spektakuler. BMW sendiri sudah punya pakem identitas di setiap model. Seperti di seri 3 teranyar, proporsi keseluruhan menekankan kuda-kuda Real Wheel Drive. Kabin agak mundur dan bonnet panjang merupakan sumber penegasan.
Bahkan kala melihat secara detail, identitas mendasar BMW, khususnya 3-Series, hadir di sekujur tubuh. Terdapat Twin Kidney Grille berbingkai kromium nan tebal di ujung hidung. Eksekusi quad lamp diadaptasi dalam satu rumah lampu. Tonjolan garis bumper seakan menjadi pemisah. Lampu L di belakang, berevolusi dari rancangan tetris menjadi alunan lembut LED. Hofmeister kink? Sudah pasti hadir di pilar C.
Lekuk kaca pintu belakang ini menarik untuk dibahas. Mulai dari E30 sampai seluruh generasi pendahulu G20, garis sudut kaca mengkurva dalam satu bingkai utuh. Lantas begitu melihat versi teranyar, ubahan cukup menohok. Frame kaca persis di Hofmeister kink seakan tertinggal di pilar jika pintu dibuka, menyajikan nuansa frameless setitik. Garis juga sedikit bersudut tapi tetap dapat memberikan gambaran Kink khas BMW.
Simpulan
Tiga puluh tahun lebih sudah dilalui, langkah demi langkah dijajaki sampai generasi terakhir. Sekitar 31 tahun lalu ia dibanderol Rp 71,8 juta. Bila menghitung berdasar tingkat inflasi, ini setara Rp 974 jutaan di 2020. Tak jauh dari harganya sekarang, Rp 976 juta. Evolusi jelas terasa jika membandingkan kontras dari generasi pertama dengan keturunan ke tujuh.
Meski begitu, 320i G20 dikembangkan sesuai ramuan leluhur entry level 3-series di Indonesia. Tonjolkan kecanggihan teknologi, kemas dalam balutan ekonomis, tapi tetap buatnya terlihat modis nan berkelas. Kurang lebih seperti itu. Pun dari segi rancangan, dasar-dasar nilai BMW tak ada yang lengser sedikitpun. Jadi, sejauh apa ia mengembara? Jawabannya sangat jauh, tapi tidak melenceng sama sekali dari kodrat.[Mqd/Hsn/timBX]