FEB 04, 2017@14:45 WIB | 9,323 Views
Segala bentuk keterbatasan, seperti budget, material, proses perakitan dan sebagainya, bukanlah sebuah penghalang bagi seseorang untuk terus berinovasi menciptakan produk yang bermanfaat bagi orang banyak. Ini dibuktikan oleh ribuan para peserta BlackInnovation 2016 yang berlomba-lomba memamerkan produk besutannya dari berbagai kategori. Dan setelah melalui proses penyaringan, diperolehlah 30 finalis BlackInnovation 2016.
Ke-30 finalis tersebut kemudian dikerucutkan lagi menjadi 15 besar untuk mencari tiga produk paling inovatif, kreatif, bermanfaat dan memiliki peluang untuk diproduksi massal. Selama proses penjurian, hujan kritikan, saran, dan pertanyaan, dilontarkan oleh para juri dan mentor BlackInnovation 2016. Tanggapan para finalis BlackInnovation pun beragam, mulai dari yang menerima dan menjalankan masukkan yang diberikan, ada juga yang biasa saja.
Hal tersebut diamini CEO PT Brodo Ganesha Indonesia, Yukka Harlanda. Menurutnya, pada saat para finalis mendapat masukan dari para juri, ada beberapa dari mereka yang mencoba defense dengan produk besutannya. Namun begitu, ada juga finalis yang menerima dan menjalankan masukkan yang diberikan para juri. "Makanya tidak mengherankan, jika pada tahap penjurian final ini ada beberapa produk yang tidak mengalami perubahan sedikitpun," terangnya di sela-sela proses penjurian final BlackInnovation 2016, di Hotel Santika, 3 Februari kemarin.
Lebih jauh lagi Yukka membeberkan, ada juga finalis yang memoles ulang produk garapannya. Namun, mungkin karena waktu yang disediakan tidak terlalu banyak, peningkatan kualitas beberapa produk masih terbilang minim. Ditanya soal kriteria penjurian, Yukka menjawab, "Masing-masing juri mempunyai kriteria penilaian masing-masing. Menurut gue pribadi, untuk dapat menyabet gelar juara di ajang BlackInnovation 2016, produk tersebut harus bisa dikomersilkan dan dapat diproduksi massal".
Produk-produk juara yang dikompetisikan di ajang ini, sambungnya, sangat sayang kalau berhenti di situ saja, dalam artian tidak ada kelanjutannya, seperti diproduksi lalu dijual ke konsumen. Sementara itu, Freddy Chrisswantra, selaku mentor BlackInnovation 2016 menuturkan, dirinya sangat menyayangkan kelas yang disediakan untuk diskusi tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para finalis. "Sebagai mentor, saya berharap dapat face to face dengan para finalis, sehingga bisa melakukan brainstorming bersama," tegasnya.
Untuk berkomunikasi dengan para finalis, akunya, antara Freddy dengan para finalis, hanya menggunakan media online. "Itu sangat tidak efektif," singkatnya. Karena pada saat proses tersebut berlangsung, tanggapan finalis beragam, ada yang menyikapinya dan ada juga finalis yang tidak menjawab arahan Freddy. "Feedbacknya jadi kurang," tambahnya.
Masih menurut Freddy, kualitas hasil produk yang diciptakan akan jauh lebih baik lagi, jika antara mentor dan finalis dapat berdiskusi bersama. Dari pandangan Freddy, secara visual, beberapa disain produk yang diciptakan para peserta terbilang minim. Namun ada juga finalis yang menerima dan menjalankan masukan yang diberikan, seperti pembuatan video dan memberi kemasan produk racikannya. "Dengan adanya diskusi bersama secara face to face, kita jadi tahu letak kekurangan dari produk tersebut, sehingga bisa diperbaiki, dan finalis tentunya akan mendapatkan knowledge terkait produk tersebut," paparnya.
Dengan adanya diskusi tatap muka tersebut, karya yang keluar tidak hanya sebatas gagasan atau pemikiran lagi, tapi sudah mengarah ke objeknya. "Sedikit saran, untuk BlackInnovation berikutnya, alangkah lebih baik jika dibuatkan per kategori, sehingga tidak meluas kemana-mana," tutupnya. [Teg/TimBX]