AUG 26, 2014@10:17 WIB | 944 Views
Pemerintah melalui Dirjend Pajak sedang menggodok aturan baru yang katanya akan menerapkan PPN 10 persen dari setiap transaksi penyelengara belanja online. Para pengamat dan pakar e-commerce menilai,ini akan berpengaruh negatif dan merugikan para pebisnis online karena terkena double take.
Diketahui saat ini semua produk atau barang sudah terkena PPN 10%. Dengan rencana PPN untuk transaksi online dikenakan lagi 10% per barang, maka para pelaku bisnis online akan kena dua kali pajak. Kebijakan ini tentunya akan menimbulkan kelesuan di bisnis online. Imbasnya konsumen tidak lagi melirik bisnis online karena variable cost yang terlalu besar untuk pajak.
Sejumlah pegamat e-commerce mengatakan peraturan tersebut belum bisa diterapkan dan penerapannya akan menimbulkan berbagai kendala.”Dikhawatirkan aturannya tumpang tindih sehingga pebisnis online dirugikan karena terkena double take tadi,” ungkap Prof. DR. Agung Harsoyo, pakar e-commerce dari Institute Teknologi Bandung (ITB).
Agung mengumpamakan, ketika orang beli ponsel di toko dengan harga Rp. 1.000.000,- ponsel tersebut sudah ada PPN-nya. “Nah, jika orang beli online dikenakan lagi 10%, maka barang tersebut akan lebih mahal dan tidak kompetitif,” tegas Agung.
Bahkan di Amerika Serikat, pengenaan pajak atas transaksi online akan dilakukan pada 2020 nanti setelah sistem pembayaran nasional mereka berjalan. . Begitu juga di Prancis, pemerintah memberi fasilitas, pembinaan, stimulus agar terciptanya lapangan kerja di sektor e-commerce. Tentunya dinegara maju ini sistem pajak yang dikelola telah serba transparan dan sudah terintegrasi secara sistem.
“Nah, seyogyanya kita belajar dari Mereka. Pemerintahan di negara tersebut memiliki andil untuk memajukan bisnis online agar perekonomian rakyatnya stabil dan mengalami pertumbuhan. Di sini baru mulai tumbuh sudah akan dikenakan beragam aturan yang tidak kondusif dan konstruktif. Kasih kesempatan dulu mereka untuk berkembang, kalau bisa diberi insentif,” ujar Agung.
Padahal bisnis online saat ini telah mulai menjamur dan tengah berkembang. Banyak konsumen yang mulai percaya untuk melakukan pembelian secara online. Jika kebijakan ini diterapkan, bukan tidak mungkin bisnis online malah layu sebelum berkembang.”Jadikan e-commerce sebagai salah satu fondasi sistem ekonomi kerakyatan,” ungkapnya.
Tidak semua pebisnis online adalah perusahaan besar, justru sebagian besar bermulai dari bisnis kecil para UKM. “Mestinya arah kebijakan itu memiliki visi yang revolusioner bahwa dengan bisnis online masyarakat Indonesia mampu memiliki kemandirian eknonomi. Sebagaimana yang dicetuskan oleh presiden terpilih kita, Bapak Joko Widodo,” ungkap Agung.
Sementara bagi para pebisinis online, mereka memiliki harapan bahwa kebijakan ini bisa dipertimbangkan ulang. Saat ini E-commerce tengah mengalami pertumbuhan karena harga yang ditawarkan biasanya lebih rendah dibandingkan toko offline. “Kami berharap dukungan pemerintah lebih nyata lagi dengan memberi stimulus maupun peraturan yang melindungi kami, bukan sebaliknya,” ungkap Jaka seorang founder bisnis online.[iam/timBX]